PARIWARA

Selasa, 10 November 2009

Facebookers


Facebookers Sejati

Sudah hampir dua hari ini Cak Kus memelototi laptop Midun, anak sulungnya yang kuliah di Jawa dan kini sedang berlibur. Memang bukan suatu hal yang aneh. Meski Cak Kus lahir pada masa orde lama, tapi ia tak pernah ketinggalan zaman. Ia tidak buta IT. Hanya saja baru kali ini ia serius berselancar di dunia maya. Cak Kus sedang membikin Facebook dan blog pribadi.


“gimana, Bah, sudah selesai belum?” Tanya Midun


“belum. Sabarlah sedikit. Kamu khan sudah sering main beginian, to Dun. Nah, istirahatlah sejenak. Keliling kampung sana naik sepeda jengki. Lihat sawah-sawah. Biar sekarang Abah yang browsing.”


“Bukan begitu Abah, tapi…….”


“Tapi apa? Takut pulsamu habis, gitu? Nanti Abah ganti dech……yach..nanti kalau kebetulan panen tembakau sekarang baik…”


“Ah, nggak kok. Tapi Midun penasaran aja kenapa Abah tiba-tiba sibuk bikin Facebook dan blog? Apa karena rajin nonton perkembangan berita Cicak Vs Buaya itu yang kini menggelinding seperti bola liar?”
“He..eh! Hari-hari ini kita memang disadarkan untuk tidak menyepelekan facebook atau blog. Gerombolan facebooker atau blogger di dunia maya yang sepintas hanya sekedar main-main, mengisi waktu luang dengan memposting keluh kesah sehari-hari, atau sekedar mencari sesuap nasi di dunia maya, ternyata mampu menjadi kekuatan penekan yang ampuh. Mulai dari kasus Priya Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional hingga sekarang KPK versus Polri. Bahkan suara-suara dari dunia maya ini yang rata-rata digerakkan oleh masyarakat kelas menengah perkotaan ini ditengara mampu merubah sistem. Karena itu aku mau bikin Facebook dan blog. Mau ikut jadi bagian dari sejarah. Mau ikut jadi anggota dukung KPK dalam jejaring facebook. Yach….berdemo lewat dunia maya. Lebih murah dan tak perlu keluar keringat berpanas-panas dijalanan karena long march.”
Mendengar penjelasan Abahnya, Midun, manggut-manggut. Tapi setelah itu Midun malah tertawa terpinkal-pingkal sampai nyaris terjungkal dari tempat duduknya. Cak Kus yang melihat anak sulungnya tertawa kayak orang kesurupan langsung saja garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Apanya yang lucu, hah. Apanya yang lucu!”
“Nggak kok Bah nggak ada yang lucu”
“Terus kenapa kamu tertawa kayak nenek lampir begitu!?”
Sambil membenarkan pecinya, Midun kemudian berkomentar: Barangkali semua setuju kalau melonjaknya partisipasi publik melalui jejaring sosial facebook merupakan bagian tak terpisahkan dari terbukanya pintu demokratisasi. Demokrasi yang kini bisa bernafas lega dimanfaatkan oleh publik sebagai sarana mengekspresikan gagasan maupun kemarahan atas kebobrokan yang terjadi yang dilakukan secara sengaja oleh para elit. Para elit yang dimaksud adalah institusi penegak hukum dan pelayan masyarakat seperti kejaksaan, peradilan, kepolisian bahkan ambtenaar(pegawai).
Kita tahu bahwa dari hari ke hari rakyat semakin disuguhi oleh prilaku elit yang kian hari kian banal. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menekan kehidupan masyarakat luas. Penggusuran, penindasan, dan ketidakadilan dimata hukum menjadi cerita sehari-hari di media massa. Kasus kriminalisasi KPK mungkin hanyalah puncak dari gunung es betapa produk hukum yang dirancang ternyata tidak lahir untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan segelintir orang saja. Karenanya tak heran jika pasal-pasal hukum dibuat bias, kering bahkan jauh dari kesan keadilan yang subtantif. Dan melalui jejaring dunia maya itu masyarakat menggugat dan melakukan penolakan.
Hukum sudah bergerak mengikuti ‘tuannya.’ Ia diciptakan bukan untuk mengejawantahkan keadilan secara massif. Tapi hukum menciptakan keadilan berdasarkan kelas sosialnya. Semakin tinggi kelas sosial seseorang, maka semakin kebal ia di hadapan hukum. Bukankah terkuaknya percakapan Anggodo Widjojo semakin membuktikan itu. sementara maling ayam masih terus mendapatkan gebukan tiap kali diinterogasi para koruptor justru bisa menonton televisi atau berinternet di sel tahanannya tanpa pernah takut dihantam sipir penjara. Ketidakadilan inilah yang bikin para facebooker dan blogger gerah dan menyalak-nyalak di ruang maya.
Meski demikian facebook bukanlah syarat utama mengubah sistem. Sistem yang korup, banal dan menindas tak akan serta merta takluk hanya karena sejuta facebooker dan sejuta blogger berceloteh di dunia maya. Suara-suara para facebooker dan blogger itu tak ubahnya selebaran-selebaran yang digunakan para aktivis pada era 1960-an hingga aktivis 1998 untuk mempengaruhi kesadaran masyarakat.
Ya. jika kesadaran masyarakat berubah, maka sikap dan pola pikir masyarakat akan berubah. Jika pola pikir sudah berubah dan maju secara politis maka tak sulit membangun gerakan berbasis rakyat. Ketika gerakan itu solid maka perubahan itu lahir juga. Sebaliknya jika rakyat diam, maka represifitas akan semakin garang. Penindasan akan terus menghujam hingga bahkan teriakan-pun dianggap angin lalu belaka.
Artinya facebooker dan para blogger belum cukup ampuh merubah keadaan jika ia hanya memelototi laptop atau PC sambil semalam suntuk mengisi status atau memposting tulisan. Kecuali jika mereka para facebooker dan blogger itu mau turun ke jalan. Bergandengan tangan menyuarakan perlawanannya di dunia nyata. Facebooker mungkin hanya ditakuti karena statusnya yang kritis dan postingannya yang tajam sosial politik mampu merubah pola pikir yang membacanya. Tapi penindas tak pernah gentar selama para facebooker tak memiliki gerakan yang solid dan riil. Jika hanya sekedar mampu mengumpulkan suara satu juta dukungan, tapi tak mampu mewujudkannya dalam aksi nyata, maka perubahan menuju kesejahteraan rakyat yang hakiki hanyalah mimpi.
Midun melirik Abahnya. Dan betapa kagetnya Midun. Sebab Cak Kus sudah tertidur pulas. Bahkan sampai ngiler di meja.
“Sial. Jadi dari tadi aku nyericos sendirian seperti orang gila” batin Midun.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Cicak vs Buaya, Orang Utan Dukung Siapa?

Saat ini Polri sedang mempertontonkan kekuasaan dan kebuasannya sebagai “buaya” dengan melakukan penahanan terhadap kedua unsur pimpinan KPK (non aktif) Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Akankah ‘Cicak” kalah? Belum tentu. Buktinya, dukungan para Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terus mengalir dari berbagai lapisan masyarakat. Pasalnya publik menilai penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah telah mengoyak rasa keadilan. Dan jika kondisi ini dibiarkan berarti agenda pemberantasan korupsi dan penegakan keadilan di negeri ini sedang diambang kehancuran.

Itulah mengapa kurang lebih dari 20 tokoh nasional menyampaikan keprihatinannya atas penahanan kedua unsur KPK non aktif di kantor Imparsial, Jakarta pada Jum’at (30/10) lalu. Diantara 20 tokoh itu ada Goenawan Mohammad, Saldi Isra, Syafi’ i Ma’arif, Imam Prasodjo, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, dan J Kristiadi. Bahkan mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan. Dengan menggunakan kursi roda, Gus Dur—sapaan akrab Abdurahman Wahid—datang ke kantor KPK. Ia menggelar jumpa pers dan menyatakan siap menjadikan dirinya sebagai jaminan. “Ya, jaminannya ditambah. Saya siap menjadi jaminan pada mereka (Bibit dan Chandra, red).” Ujarnya pada wartawan. Sebagai tanda dukungan, Gus Dur juga mengenakan pita hitam di lengan kanannya.

Dukungan juga mengalir melalui jejaring sosial dunia maya Facebook. Seorang Usman Yasin, dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jambi yang juga mahasiswa program doctor di Institut Pertanian Bogor, membuat akun gerakan dukungan di jejaring sosial Facebook dengan nama Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit. Dalam pengantarnya di gerakan satu juta dukungan itu, Usman Yasin menulis; “Bersalah atau tidak, kita yang berada diluar system mungkin merasa terganggu dengan kejadian demi kejadian yang menimpa Chandra dan Bibit. Bukan tidak mungkin kasus semacam itu seperti gunung es. Sesungguhnya banyak Chandra dan Bibit lain yang juga mengalami nasib yang sama.”

Menurut keterangan resmi Wakabareskrim Polri Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditahanan terkait kasus penyalahgunaan wewenang (penyadapan dan pencekalan) dan pemerasan. Ia juga ‘terpaksa’ ditahan karena kerap melakukan jumpa pers yang dapat memengaruhi opini publik. Menurut pihak kepolisian alasan penahanan kedua pimpinan KPK non aktif itu sudah sesuai dengan prosedur hukum, Yakni berdasarkan syarat subyektif pasal 21 Ayat 1 KUHAP. Dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP disebutkan jika ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, maka dapat dilakukan penahanan.

Namun landasan hukum yang digunakan pihak kepolisian dinilai oleh banyak pakar hukum sangat kontradiktif. Pertama, jika kedua tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah selama ini kedua tersangka menunjukkan sikap yang kooperatif dengan melakukan wajib lapor sebagaimana disyaratkan. Bahkan keduanya tidak menolak dan siap menghadap ke Mabes polri jika sewaktu-waktu keterangannya dibutuhkan.

Kedua, juga sangat kontradiktif jika kedua tersangka dianggap dapat merusak atau menghilangkan barang bukti. Bukankah Polri telah memiliki bukti cukup serta telah menyita barang bukti atau memiliki kewenangan menyita barang bukti yang masih ada pada tersangka? Tudingan semacam ini jelas mengada-ada.

Terakhir, kesan mengada-ada semakin kuat dengan alasan penahan atas dasar hukum subyektif yang didalamnya menyebutkan akan adanya kekhawatiran tersangka akan mengulangi tindak pidana. Padahal tersangka telah dicabut kewenangannya dari ketua KPK aktif menjadi non aktif karena dijerat pasal penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Lalu kewenangan apa lagi yang mereka miliki sehingga diindikasikan dapat mengulangi tindak pidana?

Dan yang paling naïf, keduanya ditahan juga karena kerap menggelar jumpa pers. Dan hal itu dianggap mengganggu proses penyidikan karena dapat mempengaruhi opini publik. Bukankah hak berpendapat adalah hak setiap warga negara dan termaktub dalam UUD? Lagipula menggelar jumpa pers bukanlah tindak pidana. Tapi mengapa tiba-tiba menggelar jumpa pers yang dilakukan Bibit-Chandra justru menjadi delik pidana?

Benarkah Polri hendak menunjukkan kekuasaannya dan mempengaruhi opini publik dengan penjelasan-penjelasan hukum yang cenderung sesat?

“Baca apa sich kok serius amat. Amat saja tak pernah serius?” tiba-tiba Istri Cak Kus menepuk bahu suaminya yang sedari tadi memelototi Headline Koran langganannya itu.

“Hus…..Amat tak pernah serius karena Amat sakit mental!” kedua suami istri itu lalu tertawa.

“ini Lo baca berita Bibit-Chandra yang ditahan Polisi. KPK versus Polisi.”

“Oooo…..soal pertarungan Cicak dan Buaya itu to, Pak!? Kalau Cicak dan Buaya lagi ‘berperang’ begini Orang Utan pilih siapa?”

“kau pikir suamimu ini orang utan. Kau pikir negara ini hutan rimba apa?.

”Emang gitu keadaannya. He….he….he…ayo jawab, sampeyan pilih siapa?”

“Yach….kalau di dunia hewan sich…Cicak gak mungkin menang lawan buaya, dik. Tapi ada cerita anak-anak yang popular kalau Gajah yang besar itu bisa kalah lawan semut karena semut kompak dan bersatu bersama koloni semut melawan gajah.

“Tapi ini khan bukan cerita Gajah dan Semut. Ini cerita Cicak dan Buaya. Lain to akhir ceritanya.”

“Tergantung dalangnya, dik. Kalau dalangnya mau gajah menang dan semut kalah meski jumlahnya banyak ya bisa saja. Tapi dalam kasus Cicak versus Buaya ini aku mendukung Cicak.”
“Walau nanti akhirnya Cicak kalah?”

“Kalau kalah kita bikin cerita sendiri saja dan ceritanya dibuat menang. Seperti yang dilakukan Amerika yang kalah perang melawan Vietnam. Amrik kemudian bikin film-film hero seperti Rambo dan Commando yang selalu menang.”

“iya…ya…memang cerita bergantung pada dalangnya.”

MENJADI PNS


Cak Kus kedatangan tamu. Seorang kawan lama. Teman sekolah. Si kawan, sebut saja A tidak sendirian. Ia datang dengan istrinya. Setelah bercerita panjang lebar soal banyak hal—memang yang paling banyak cerita kekonyolan masa silam waktu sekolah dulu—si kawan mengungkapkan tujuan sebenarnya bertanandang pada Cak Kus; mencari jalan pintas jadi PNS. Bahkan A sudah menyediakan dana sebesar Rp. 60 juta sebagai uang pelicin untuk memuluskan jalannya itu.

“Wah, kenapa kalau urusan itu kok mesti ke saya to ya!? saya khan bukan Bupati. Bukan juga pejabat tinggi di Pemerintah Daerah.”

“Iya…iya saya tahu. Tapi sampeyan khan banyak teman pejabat. Juga termasuk orang ‘penting’ di daerah ini. Ayolah Cak, tolongin saya sekali ini saja. Tau sendiri khan cari kerja sekarang sulit. Ini demi masa depan keluarga.” Sambil tangan si A memegangi bahu istrinya. Kedua pasangan suami-istri itu kemudian tersenyum.

Mendengar komentar kawannya itu Cak Kus jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil tertawa dalam hati. Betapa tidak. Seumur-umur baru kali ini ia disebut-sebut sebagai salah satu orang “penting” di daerahnya. Padahal banyak diantara kawan-kawan lainnya masih sepakat untuk menyebut Cak Kus sebagai orang ‘edan.’ Bagaimana tidak edan. Setelah lulus kuliah sempat kerja di perusahaan besar pertambangan. Tiga tahun ia lakoni pekerjaan itu. sampai akhirnya ia bisa menjabat sebagai kepala divisi Humas. Eh, karir baru menanjak malah memilih berhenti. Keluar dari perusahaan pertambangan Cak Kus lalu kerja jadi reporter. Hanya satu tahun di perusahaan media cetak. Berhenti. Dan akhirnya memilih pulang kampung. Mengelola sawah warisan bapakknya seluas 1 hektar. Sambil jadi penulis serabutan. Apa itu tidak edan!?

Nah, ini sekarang ada kawan yang menyebutnya orang penting. “Apanya yang penting?” Batin Cak Kus. Benar memang ia sering dekat dengan pejabat-pejabat daerah. Tapi kedekatannya hanya sebatas liputan saja. Sebab Cak Kus selain sebagai petani di kampungnya juga sesekali masih menulis satu dua berita untuk media. Benar juga memang Cak Kus juga kerap nongol di televisi lokal untuk menjadi narasumber atau wajahnya nongol di koran lokal ketika menulis artikel tentang berbagai fenomena sosial. Meski demikian ia tak pernah merasa jadi orang penting. Apa memang pujian kawannya itu hanya untuk meluluhkan hati Cak Kus agar bisa mencarikan jalan belakang untuk menjadi abdi negara itu?

Sebenarnya permintaan kawannya itu bukanlah hal baru bagi Cak Kus. Setiap musim rekruitmen PNS seperti sekarang ini selalu saja ada orang yang tak yakin pada dirinya sendiri dalam berkompetisi memperebutkan kursi menjadi PNS lewat ujian. Bahkan para pejabat di daerahnya pun juga turut sibuk mencarikan ‘jatah’ PNS untuk anak-anaknya yang sudah lulus kuliah. Tahun lalu sebuah media pernah mengungkap kasus anak-anak pejabat di sebuah daerah yang sengaja ‘dititipkan’ untuk masuk jadi PNS. Tentu saja tes CPNS yang diikuti hanya sekedar formalitas belaka. Para anak-anak pejabat itu pasti lulus.

Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya para cukong dan makelar PNS. Memanfaatkan ambisi orang-orang yang ingin jadi Ambtenaar. Dengan menyerahkan uang puluhan juta rupiah para cukong dan makelar PNS ini sanggup mewujudkan cita-cita para CPNS mendapat SK. Juga maraknya jual beli kunci jawaban merupakan fenomena biasa menjelang ujian CPNS digelar. Tak cukup sampai disitu ketika diterima oun para CPNS itu sudah diajari korup oleh seniornya. Mulai dari aksi ABS (Asal Bos Senang) hingga membuat laporan keuangan fiktif. Belum lagi maraknya para PNS mesum yang turut memperburuk citra PNS.

Anehnya, meski kabar soal kecurangan dalam rekruitmen CPNS selalu menjadi kabar yang lumrah dikonsumsi toh masih banyak saja para orang muda yang mau melamar menjadi abdi negara itu. Tempat pendaftaran CPNS selalu saja dipenuhi para pelamar yang berdesak-desakan. “Siapa tahu beruntung, Pak. Kalau tembus jadi PNS khan mantap,” ujar salah seorang pelamar bernama Iva yang sempat ditanyai Cak Kus di kantor pos saat ia kebetulan tengah membeli materai. Padahal jumlah pegawai negeri di Indonesia sampai saat ini sangat gigantik melebihi negara mana pun: 8 juta orang.

Ambisi-ambisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang menjadi PNS jelas mengerikan? Cak Kus kemudian ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah konferensi pendidikan Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASBAE) yang dihadiri ornop se-Asia Tenggara dan Selatan pada Desember 2004 lalu. “Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi di negeri ini mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan pegawai negeri sudah bertumpuk-tumpukan. Pendidikan yang membentuk itu semua.”

Ya. Pendidikan kita, diakui atau tidak, selama ini memang tidak serius mencetak manusia-manusia yang berjiwa berdikari dan mampu merintis sebuah kerja mandiri dan tak harus menjadi budak bagi orang lain atau menjadi manusia kuli. Pendidikan kita seakan menjangkar dan memerluas kesadaran serta meluapkan keinginan bahwa kelak bila lulus nanti akan menjadi pegawai negeri. Paling tidak menjadi pelamar pekerjaan dengan menenteng ijazah ke sana kemari dan mengantri panjang untuk mengambil formulir kartu kuning di Depnaker ketika bursa kerja di buka secara massal. Ironisnya lagi, para pelaku di dunia pendidikan terus-menerus menjadikan lembaga pendidikan tak ubahnya sebagai sebuah pabrik. Mereka lebih sibuk menghitung laba-rugi dan terus menerus menaikkan ongkos pendidikan daripada meningkat kualitas. Hasilnya, sebagian besar lulusan sekolah memang masih berwatak feodal. Rakyat jelatanya masih suka menjilat daripada berupaya membebaskan diri dari penindasan. Sementara kaum elitnya masih saja menindas.

Dan kini salah seorang kawannya hendak masuk dan melamar menjadi PNS. Dan kini dia didapuk untuk memuluskan cita-citanya. Ini jelas dilematis bagi Cak Kus. Jika ia menolong berarti ia menambah deretan panjang para koruptor di jejaring birokrasi yang rumit dan rapuh itu. tapi jika ia menolak ia jelas akan kehilangan salah satu temannya.

“Bagaimana Cak? Kok Nglamun!” Suara si A memudarkan lamunan Cak Kus.

***
Peristiwa diatas memang sudah puluhan tahun berlalu. Namun tiap kali media massa cetak dan elektronik mulai marak menyiarkan berita soal rekruitmen CPNS, Cak Kus selalu ingat akan temannya itu. si A memang tak pernah berhasil menjadi CPNS sebagaimana yang dicita-citakannya. Cak Kus menolak memberikan bantuan mencarikan jalan. Berkali-kali ikut tes ia selalu gagal. Sudah ratusan rupiah melayang dari tangannya karena ditipu para makelar PNS. Terakhir si A tertangkap basah membeli kunci jawaban tes CPNS. Ia dihukum 3 tahun penjara. Baru menjalani masa hukuman 1 tahun si A mati; bunuh diri dalam sel-nya.

Sedangkan istri si A akhirnya jualan rujak untuk bertahan hidup dan membiayai 2 anaknya yang masih kecil-kecil. Beruntung usahanya yang gigih dan tak kenal menyerah membuahkan hasil. Dua anaknya sekarang telah menjadi PNS. Satu diantara kini menjadi kepala dinas.

Dan Cak Kus memang tak pernah menyesal pada keputusannya.

Selasa, 20 Oktober 2009

Menggugat Jurnalis

Menggugat Jurnalis

Minggu pagi. Di teras rumah Cak Muki, tampak Ma’on, anak sulung Cak Muki, seorang mahasiswa semester awal di salah satu PTS di Madura sedang serius membaca koran lokal. Sesekali ia pelototi koran itu, kemudian dilemparkannya ke meja sembari tangannya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Padahal halaman yang ia baca masih yang itu-itu juga. Tampaknya ia tertarik dengan salah satu berita di halaman X dengan headline: Wartawan Peras Pengusaha, ditangkap.

“Tumben, serius amat!” ujar Cak Kus, adik bungsu Cak Muki yang tiba-tiba datang mengageti Ma’on.

“Huh…bikin kaget orang saja. Untung ponakanmu ini tak punya penyakit jantung. Coba kalau punya pasti dah masuk rumah sakit.”

“Karena aku tahu kau tak punya penyakit jantung, makanya aku kageti. Ada berita apa nih, kok baca koran serius sekali, sampek garuk-garuk kepala segala.”

“Ini lho Cak ada oknum wartawan ditangkap polisi gara-gara dilaporkan memeras pengusaha. Tak tanggung-tanggung Cak, si wartawan memeras Rp. 101,5 juta.”

“Wah, banyak sekali. Kalau dibelikan rujak pasti bisa satu kolam,”

“Iya setelah itu yang jual rujak mati kecape’an.” Keduanya lantas tertawa.

Cak Kus lalu menyambar koran yang baru saja dibaca Ma’on. Ia membaca berita yang diceritakan Ma’on. beberapa menit kemudian ia berkomentar.

“Hebat”

“apanya yang hebat?”

“Masih ada narasumber yang berani melaporkan wartawan ke polisi karena diperas. Ini pelajaran bahwa wartawan ternyata tak kebal hukum.”

“Emangnya wartawan itu ditakuti ya, cak? Kalau aku baca di berita itu ternyata si wartawan yang dilaporkan itu kerja di koran T. Sebuah koran kecil. Segmentasinya gak jelas. Isinya juga…..ya gitu dech, Jadi wajar kalau narasumber yang melek media berani melapor. Kalau yang meras misalnya wartawan sebuah koran besar. Oplahnya puluhan juta eksemplar. Segmentasinya jelas. Pasti ceritanya jadi lain. Betul khan?”

“Hus…hati-hati kalau ngomong. Untung cuma aku yang dengar. Kalau didengar orang media, dilaporkan pencemaran nama baik, tahu rasa kamu.”

“Emang nyatanya begitu, kok Cak. Wah, repot negeri ini. Ngomong jujur malah dianggap mencemarkan nama baik. Bicara bohong dihakimi publik sebagai pembohong. Apa warga negara di sini disuruh jadi pak turut semua. Bisu. Ho oh saja. Tinggal teriak setuju saja. Ah, apa bedanya dengan zaman orde baru.”

“Sejatinya pers harus memihak kepada proses kesetaraan dan demokratisasi. Sedangkan dalam aspek kebebasan, jurnalisme harus independent, membebaskan dan memihak kebenaran. R. Toto Sugiharto menyebutnya Jurnalisme profetik. Yakni sebuah sistem informasi yang menyajikan fakta kemanusiaan pada konteks zamannya sebagai upaya memperkaya referensi peristiwa sekaligus memuat materi yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Jurnalisme profetik bukanlah informasi yang dikemas atau direkayasa untuk public service.

Karena itu jurnalisme profetik tidak boleh berat sebelah. Ia tidak berpihak pada satu sisi, melainkan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi serta kode etik jurnalistik dengan penyajian berita yang profesional berimbang dan tanpa pamrih. Tentu saja para jurnalis yang memegang teguh jurnalisme profetik harus siap dengan resiko apapun. Karena jurnalis macam ini tentu saja akan disegani kawan, juga ditakuti lawan. Tak sedikit para jurnalis yang memilih jalur ini, Fuad Muhammad Burhanudin, alias Udin, wartawan Bernas itu misalnya. ia tewas ditangan orang tak bertanggung jawab pada 16 Agustus 1996 karena meliput kasus korupsi Bupati Bantul. Karena itu, kasus meras-memeras narasumber yang dilakukan wartawan hanyalah oknum belaka. Tak semua wartawan seperti itu.

“Setuju aku dengan pendapatmu, Cak. Hanya saja masalahnya kalau diprosentasei masih lebih banyak wartawan yang suka terima amplop dibandingkan wartawan yang konsisten dan jujur,” tiba-tiba saja Cak Muki yang sedari tadi nyiram tanaman bonsainya menimpali diskusi Cak Kus dan Ma’on.

“Tiap bulan setidaknya aku harus menyediakan sejumlah uang untuk sekedar ‘ngasih ongkos bensin” pada wartawan yang jumlahnya puluhan yang kebetulan meliput ke tempat kerjaku. Tragisnya, di kantor tidak disediakan dana taktis untuk itu. Hingga kadang aku merogoh kocekku sendiri untuk itu. aku sendiri ya nggak ngerti mana yang wartawan ‘beneran,’ mana yang sekedar cari amplop. Wong tiap bulan datangnya grudukan (rombongan, red) gitu. Dan semuanya pada nggak menolak diongkosi.

Pernah juga aku ngeluh pada wartawan yang medianya jelas dan aku kenal baik soal ini. Besoknya diturunkan jadi berita. Ealah, bukannya kapok, wartawan yang datang malah tambah banyak. Bahkan pada sekretarisku beberapa wartawan nyeletuk; “Mana itu pejabat yang merogoh koceknya sendiri untuk uang bensin wartawan tiap bulan. Mbok aku dimasukkan daftarnya sehingga kebagian!”

“Ah, berarti kau banyak dosa. Banyak ngemplang uang rakyat yang disalurkan dari proyek-proyek pemerintah. Bukankah ada adagium miring yang cukup terkenal di dunia jurnalistik; dosamu, rejekiku.”

“Bukan itu masalahnya, Cak. Tapi kata stafku, itu sudah jadi kebiasaan dari pejabat yang dulu-dulu. Repetitif. Selalu begitu. Kadang mereka juga datang setiap hari silih berganti, setor muka, sekedar mengucapkan salam selamat pagi atau selamat siang. Dan tuan rumah memang harus paham; UUD (ujung-ujungnya Duit).”

“Yach…repot memang untuk membersihkan kredibilitas wartawan. Mungkin tiap kali membaca berita koran atau siaran televisi kita berdecak kagum pada wartawan karena liputannya. Dilain pihak, kita sering miris dengan aksi wartawan tanpa media yang sekedar cari amplop. Lebih miris lagi kalau ternyata tak sedikit wartawan munafik yang pura-pura suci tapi juga doyan amplop. Wartawan yang beginian ini biasanya liputannya tidak bagus-bagusnya amat. Tulisannya kering. Tidak kreatif. Isinya hanya komentar narasumber saja.

Dilain pihak, toh ada juga pejabat yang suka maksa-maksa wartawan terima amplop hanya agar beritanya dimuat atau fotonya nangkring di koran. Sebab bagi pejabat khan publikasi penting, agar karirnya mulus, dan jabatannya cepat naik. Sebab salah satu tolok ukur agar jadi kesayangan Bupati/Walikota/Gubernur salah satu syarat tidak tertulisnya adalah muncul di media dengan berita bagus. Betul to Ki?” Yang disindir hanya garuk-garuk kepala dan nyengir kuda. Merasa sedang diatas angin Cak Kus kembali nyerocos.

“Disadari atau tidak wartawan memang menjadi sandaran bagi harapan banyak orang. Apalagi di negeri yang carut marut dan timpang seperti ini. Kaum miskin kota tanahnya dirampas secara sepihak, para PKL yang digusur, para buruh yang di-PHK secara sepihak misalnya, menghubungi wartawan agar aksi demonya diliput sampai tuntutan mereka dikabulkan. Masalahnya siapa yang membela jurnalis? Bukankah ia juga karyawan swasta yang terikat managemen struktural ketat perusahaan tempatnya bekerja? Bahkan ditengah kerjanya yang super padat dan kerap menyisihkan kebersamaan anak istri tak sedikit perusahaan media yang menetapkan gaji wartawan sedikit lebih diatas upah minimum daerah/propinsi (UMD/P)? Dus, sementara harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi dan deraan kebutuhan ekonomi semakin tak terbendung, mereka juga ‘diharamkan’ menerima suap, sogokan dan amplop.”

Hening. Baik Ma’on maupun Cak Muki sedang menyimak dengan saksama penjelasan Cak Kus. Merasa tak ada yang mau menanggapi pernyataannya, Cak Kus melanjutkan celotehnya.
“Dalam kondisi semacam itu wajar saja jika banyak wartawan yang saling sikut antar kawan. Baik diinternal perusahaannya maupun di lapangan antara sesame wartawana beda media. Berkompetisi. Mereka memeras otak, berkreasi untuk bertahan secara ekonomi. Ada wartawan yang mengemas semua beritanya menjadi sekedar marketing news. Jadi setiap liputan dan setiap narasumber yang hendak dimuat harus menandatangani kontrak iklan. Ada pula yang awalnya wartawan liputan banting setir jadi makelar iklan.”

“Tunggu….tunggu….” Tiba-tiba Ma’on menyela. “Ngomong-ngomong Cak Kus dulu khan mantan jurnalis. Waktu jadi reporter dulu termasuk wartawan idealis atau wartawan amplop juga sich? Atau pragmatis? Kadang idealis, tapi kalau kepepet boleh juga jadi munafik.”

Kini giliran Cak Kus yang bungkam. Cak Muki hanya senyum-senyum saja. Sementara Ma’on mengetuk-ngetukkan tangannya di meja sebagai tanda sedang menunggu jawaban. Cak Kus tiba-tiba melirik jam tangannya.

“Wah, Jam setengah sepuluh nih. Aku numpang mandi ya?” ujar Cak Kus sambil ngeloyor meninggalkan teras tempat diskusi dan masuk ke dalam rumah. Dalam kamar mandi sayup-sayup terdengar Cak Kus sedang bernyanyi reffing-nya Band “Serius” yang berjudul “Rocker Juga Manusia.” Tapi dipelintir;
Wartawan juga manusia
Punya anak punya istri
Wajar kalau penanya
Tak setajam pisau belati