
Facebookers Sejati
Sudah hampir dua hari ini Cak Kus memelototi laptop Midun, anak sulungnya yang kuliah di Jawa dan kini sedang berlibur. Memang bukan suatu hal yang aneh. Meski Cak Kus lahir pada masa orde lama, tapi ia tak pernah ketinggalan zaman. Ia tidak buta IT. Hanya saja baru kali ini ia serius berselancar di dunia maya. Cak Kus sedang membikin Facebook dan blog pribadi.
Sudah hampir dua hari ini Cak Kus memelototi laptop Midun, anak sulungnya yang kuliah di Jawa dan kini sedang berlibur. Memang bukan suatu hal yang aneh. Meski Cak Kus lahir pada masa orde lama, tapi ia tak pernah ketinggalan zaman. Ia tidak buta IT. Hanya saja baru kali ini ia serius berselancar di dunia maya. Cak Kus sedang membikin Facebook dan blog pribadi.
“gimana, Bah, sudah selesai belum?” Tanya Midun
“belum. Sabarlah sedikit. Kamu khan sudah sering main beginian, to Dun. Nah, istirahatlah sejenak. Keliling kampung sana naik sepeda jengki. Lihat sawah-sawah. Biar sekarang Abah yang browsing.”
“Bukan begitu Abah, tapi…….”
“Tapi apa? Takut pulsamu habis, gitu? Nanti Abah ganti dech……yach..nanti kalau kebetulan panen tembakau sekarang baik…”
“Ah, nggak kok. Tapi Midun penasaran aja kenapa Abah tiba-tiba sibuk bikin Facebook dan blog? Apa karena rajin nonton perkembangan berita Cicak Vs Buaya itu yang kini menggelinding seperti bola liar?”
“He..eh! Hari-hari ini kita memang disadarkan untuk tidak menyepelekan facebook atau blog. Gerombolan facebooker atau blogger di dunia maya yang sepintas hanya sekedar main-main, mengisi waktu luang dengan memposting keluh kesah sehari-hari, atau sekedar mencari sesuap nasi di dunia maya, ternyata mampu menjadi kekuatan penekan yang ampuh. Mulai dari kasus Priya Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional hingga sekarang KPK versus Polri. Bahkan suara-suara dari dunia maya ini yang rata-rata digerakkan oleh masyarakat kelas menengah perkotaan ini ditengara mampu merubah sistem. Karena itu aku mau bikin Facebook dan blog. Mau ikut jadi bagian dari sejarah. Mau ikut jadi anggota dukung KPK dalam jejaring facebook. Yach….berdemo lewat dunia maya. Lebih murah dan tak perlu keluar keringat berpanas-panas dijalanan karena long march.”
Mendengar penjelasan Abahnya, Midun, manggut-manggut. Tapi setelah itu Midun malah tertawa terpinkal-pingkal sampai nyaris terjungkal dari tempat duduknya. Cak Kus yang melihat anak sulungnya tertawa kayak orang kesurupan langsung saja garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Apanya yang lucu, hah. Apanya yang lucu!”
“Nggak kok Bah nggak ada yang lucu”
“Terus kenapa kamu tertawa kayak nenek lampir begitu!?”
Sambil membenarkan pecinya, Midun kemudian berkomentar: Barangkali semua setuju kalau melonjaknya partisipasi publik melalui jejaring sosial facebook merupakan bagian tak terpisahkan dari terbukanya pintu demokratisasi. Demokrasi yang kini bisa bernafas lega dimanfaatkan oleh publik sebagai sarana mengekspresikan gagasan maupun kemarahan atas kebobrokan yang terjadi yang dilakukan secara sengaja oleh para elit. Para elit yang dimaksud adalah institusi penegak hukum dan pelayan masyarakat seperti kejaksaan, peradilan, kepolisian bahkan ambtenaar(pegawai).
Kita tahu bahwa dari hari ke hari rakyat semakin disuguhi oleh prilaku elit yang kian hari kian banal. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menekan kehidupan masyarakat luas. Penggusuran, penindasan, dan ketidakadilan dimata hukum menjadi cerita sehari-hari di media massa. Kasus kriminalisasi KPK mungkin hanyalah puncak dari gunung es betapa produk hukum yang dirancang ternyata tidak lahir untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan segelintir orang saja. Karenanya tak heran jika pasal-pasal hukum dibuat bias, kering bahkan jauh dari kesan keadilan yang subtantif. Dan melalui jejaring dunia maya itu masyarakat menggugat dan melakukan penolakan.
Hukum sudah bergerak mengikuti ‘tuannya.’ Ia diciptakan bukan untuk mengejawantahkan keadilan secara massif. Tapi hukum menciptakan keadilan berdasarkan kelas sosialnya. Semakin tinggi kelas sosial seseorang, maka semakin kebal ia di hadapan hukum. Bukankah terkuaknya percakapan Anggodo Widjojo semakin membuktikan itu. sementara maling ayam masih terus mendapatkan gebukan tiap kali diinterogasi para koruptor justru bisa menonton televisi atau berinternet di sel tahanannya tanpa pernah takut dihantam sipir penjara. Ketidakadilan inilah yang bikin para facebooker dan blogger gerah dan menyalak-nyalak di ruang maya.
Meski demikian facebook bukanlah syarat utama mengubah sistem. Sistem yang korup, banal dan menindas tak akan serta merta takluk hanya karena sejuta facebooker dan sejuta blogger berceloteh di dunia maya. Suara-suara para facebooker dan blogger itu tak ubahnya selebaran-selebaran yang digunakan para aktivis pada era 1960-an hingga aktivis 1998 untuk mempengaruhi kesadaran masyarakat.
Ya. jika kesadaran masyarakat berubah, maka sikap dan pola pikir masyarakat akan berubah. Jika pola pikir sudah berubah dan maju secara politis maka tak sulit membangun gerakan berbasis rakyat. Ketika gerakan itu solid maka perubahan itu lahir juga. Sebaliknya jika rakyat diam, maka represifitas akan semakin garang. Penindasan akan terus menghujam hingga bahkan teriakan-pun dianggap angin lalu belaka.
Artinya facebooker dan para blogger belum cukup ampuh merubah keadaan jika ia hanya memelototi laptop atau PC sambil semalam suntuk mengisi status atau memposting tulisan. Kecuali jika mereka para facebooker dan blogger itu mau turun ke jalan. Bergandengan tangan menyuarakan perlawanannya di dunia nyata. Facebooker mungkin hanya ditakuti karena statusnya yang kritis dan postingannya yang tajam sosial politik mampu merubah pola pikir yang membacanya. Tapi penindas tak pernah gentar selama para facebooker tak memiliki gerakan yang solid dan riil. Jika hanya sekedar mampu mengumpulkan suara satu juta dukungan, tapi tak mampu mewujudkannya dalam aksi nyata, maka perubahan menuju kesejahteraan rakyat yang hakiki hanyalah mimpi.
Midun melirik Abahnya. Dan betapa kagetnya Midun. Sebab Cak Kus sudah tertidur pulas. Bahkan sampai ngiler di meja.
“Sial. Jadi dari tadi aku nyericos sendirian seperti orang gila” batin Midun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar