
Itulah mengapa kurang lebih dari 20 tokoh nasional menyampaikan keprihatinannya atas penahanan kedua unsur KPK non aktif di kantor Imparsial, Jakarta pada Jum’at (30/10) lalu. Diantara 20 tokoh itu ada Goenawan Mohammad, Saldi Isra, Syafi’ i Ma’arif, Imam Prasodjo, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, dan J Kristiadi. Bahkan mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid juga memberikan dukungan. Dengan menggunakan kursi roda, Gus Dur—sapaan akrab Abdurahman Wahid—datang ke kantor KPK. Ia menggelar jumpa pers dan menyatakan siap menjadikan dirinya sebagai jaminan. “Ya, jaminannya ditambah. Saya siap menjadi jaminan pada mereka (Bibit dan Chandra, red).” Ujarnya pada wartawan. Sebagai tanda dukungan, Gus Dur juga mengenakan pita hitam di lengan kanannya.
Dukungan juga mengalir melalui jejaring sosial dunia maya Facebook. Seorang Usman Yasin, dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jambi yang juga mahasiswa program doctor di Institut Pertanian Bogor, membuat akun gerakan dukungan di jejaring sosial Facebook dengan nama Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit. Dalam pengantarnya di gerakan satu juta dukungan itu,

Menurut keterangan resmi Wakabareskrim Polri Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditahanan terkait kasus penyalahgunaan wewenang (penyadapan dan pencekalan) dan pemerasan. Ia juga ‘terpaksa’ ditahan karena kerap melakukan jumpa pers yang dapat memengaruhi opini publik. Menurut pihak kepolisian alasan penahanan kedua pimpinan KPK non aktif itu sudah sesuai dengan prosedur hukum, Yakni berdasarkan syarat subyektif pasal 21 Ayat 1 KUHAP. Dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP disebutkan jika ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, maka dapat dilakukan penahanan.
Namun landasan hukum yang digunakan pihak kepolisian dinilai oleh banyak pakar hukum sangat kontradiktif. Pertama, jika kedua tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah selama ini kedua tersangka menunjukkan sikap yang kooperatif dengan melakukan wajib lapor sebagaimana disyaratkan. Bahkan keduanya tidak menolak dan siap menghadap ke Mabes polri jika sewaktu-waktu keterangannya dibutuhkan.
Kedua, juga sangat kontradiktif jika kedua tersangka dianggap dapat merusak atau menghilangkan barang bukti. Bukankah Polri telah memiliki bukti cukup serta telah menyita barang bukti atau memiliki kewenangan menyita barang bukti yang masih ada pada tersangka? Tudingan semacam ini jelas mengada-ada.
Terakhir, kesan mengada-ada semakin kuat dengan alasan penahan atas dasar hukum subyektif yang didalamnya menyebutkan akan adanya kekhawatiran tersangka akan mengulangi tindak pidana. Padahal tersangka telah dicabut kewenangannya dari ketua KPK aktif menjadi non aktif karena dijerat pasal penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Lalu kewenangan apa lagi yang mereka miliki sehingga diindikasikan dapat mengulangi tindak pidana?
Dan yang paling naïf, keduanya ditahan juga karena kerap menggelar jumpa pers. Dan hal itu dianggap mengganggu proses penyidikan karena dapat mempengaruhi opini publik. Bukankah hak berpendapat adalah hak setiap warga negara dan termaktub dalam UUD? Lagipula menggelar jumpa pers bukanlah tindak pidana. Tapi mengapa tiba-tiba menggelar jumpa pers yang dilakukan Bibit-Chandra justru menjadi delik pidana?
Benarkah Polri hendak menunjukkan kekuasaannya dan mempengaruhi opini publik dengan penjelasan-penjelasan hukum yang cenderung sesat?
“Baca apa sich kok serius amat. Amat saja tak pernah serius?” tiba-tiba Istri Cak Kus menepuk bahu suaminya yang sedari tadi memelototi Headline Koran langganannya itu.
“Hus…..Amat tak pernah serius karena Amat sakit mental!” kedua suami istri itu lalu tertawa.
“ini Lo baca berita Bibit-Chandra yang ditahan Polisi. KPK versus Polisi.”
“Oooo…..soal pertarungan Cicak dan Buaya itu to, Pak!? Kalau Cicak dan Buaya lagi ‘berperang’ begini Orang Utan pilih siapa?”
“kau pikir suamimu ini orang utan. Kau pikir negara ini hutan rimba apa?.
”Emang gitu keadaannya. He….he….he…ayo jawab, sampeyan pilih siapa?”
“Yach….kalau di dunia hewan sich…Cicak gak mungkin menang lawan buaya, dik. Tapi ada cerita anak-anak yang popular kalau Gajah yang besar itu bisa kalah lawan semut karena semut kompak dan bersatu bersama koloni semut melawan gajah.
“Tapi ini khan bukan cerita Gajah dan Semut. Ini cerita Cicak dan Buaya. Lain to akhir ceritanya.”
“Tergantung dalangnya, dik. Kalau dalangnya mau gajah menang dan semut kalah meski jumlahnya banyak ya bisa saja. Tapi dalam kasus Cicak versus Buaya ini aku mendukung Cicak.”
“Walau nanti akhirnya Cicak kalah?”
“Kalau kalah kita bikin cerita sendiri saja dan ceritanya dibuat menang. Seperti yang dilakukan Amerika yang kalah perang melawan Vietnam. Amrik kemudian bikin film-film hero seperti Rambo dan Commando yang selalu menang.”
“iya…ya…memang cerita bergantung pada dalangnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar