PARIWARA

Selasa, 20 Oktober 2009

Menggugat Jurnalis

Menggugat Jurnalis

Minggu pagi. Di teras rumah Cak Muki, tampak Ma’on, anak sulung Cak Muki, seorang mahasiswa semester awal di salah satu PTS di Madura sedang serius membaca koran lokal. Sesekali ia pelototi koran itu, kemudian dilemparkannya ke meja sembari tangannya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Padahal halaman yang ia baca masih yang itu-itu juga. Tampaknya ia tertarik dengan salah satu berita di halaman X dengan headline: Wartawan Peras Pengusaha, ditangkap.

“Tumben, serius amat!” ujar Cak Kus, adik bungsu Cak Muki yang tiba-tiba datang mengageti Ma’on.

“Huh…bikin kaget orang saja. Untung ponakanmu ini tak punya penyakit jantung. Coba kalau punya pasti dah masuk rumah sakit.”

“Karena aku tahu kau tak punya penyakit jantung, makanya aku kageti. Ada berita apa nih, kok baca koran serius sekali, sampek garuk-garuk kepala segala.”

“Ini lho Cak ada oknum wartawan ditangkap polisi gara-gara dilaporkan memeras pengusaha. Tak tanggung-tanggung Cak, si wartawan memeras Rp. 101,5 juta.”

“Wah, banyak sekali. Kalau dibelikan rujak pasti bisa satu kolam,”

“Iya setelah itu yang jual rujak mati kecape’an.” Keduanya lantas tertawa.

Cak Kus lalu menyambar koran yang baru saja dibaca Ma’on. Ia membaca berita yang diceritakan Ma’on. beberapa menit kemudian ia berkomentar.

“Hebat”

“apanya yang hebat?”

“Masih ada narasumber yang berani melaporkan wartawan ke polisi karena diperas. Ini pelajaran bahwa wartawan ternyata tak kebal hukum.”

“Emangnya wartawan itu ditakuti ya, cak? Kalau aku baca di berita itu ternyata si wartawan yang dilaporkan itu kerja di koran T. Sebuah koran kecil. Segmentasinya gak jelas. Isinya juga…..ya gitu dech, Jadi wajar kalau narasumber yang melek media berani melapor. Kalau yang meras misalnya wartawan sebuah koran besar. Oplahnya puluhan juta eksemplar. Segmentasinya jelas. Pasti ceritanya jadi lain. Betul khan?”

“Hus…hati-hati kalau ngomong. Untung cuma aku yang dengar. Kalau didengar orang media, dilaporkan pencemaran nama baik, tahu rasa kamu.”

“Emang nyatanya begitu, kok Cak. Wah, repot negeri ini. Ngomong jujur malah dianggap mencemarkan nama baik. Bicara bohong dihakimi publik sebagai pembohong. Apa warga negara di sini disuruh jadi pak turut semua. Bisu. Ho oh saja. Tinggal teriak setuju saja. Ah, apa bedanya dengan zaman orde baru.”

“Sejatinya pers harus memihak kepada proses kesetaraan dan demokratisasi. Sedangkan dalam aspek kebebasan, jurnalisme harus independent, membebaskan dan memihak kebenaran. R. Toto Sugiharto menyebutnya Jurnalisme profetik. Yakni sebuah sistem informasi yang menyajikan fakta kemanusiaan pada konteks zamannya sebagai upaya memperkaya referensi peristiwa sekaligus memuat materi yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Jurnalisme profetik bukanlah informasi yang dikemas atau direkayasa untuk public service.

Karena itu jurnalisme profetik tidak boleh berat sebelah. Ia tidak berpihak pada satu sisi, melainkan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi serta kode etik jurnalistik dengan penyajian berita yang profesional berimbang dan tanpa pamrih. Tentu saja para jurnalis yang memegang teguh jurnalisme profetik harus siap dengan resiko apapun. Karena jurnalis macam ini tentu saja akan disegani kawan, juga ditakuti lawan. Tak sedikit para jurnalis yang memilih jalur ini, Fuad Muhammad Burhanudin, alias Udin, wartawan Bernas itu misalnya. ia tewas ditangan orang tak bertanggung jawab pada 16 Agustus 1996 karena meliput kasus korupsi Bupati Bantul. Karena itu, kasus meras-memeras narasumber yang dilakukan wartawan hanyalah oknum belaka. Tak semua wartawan seperti itu.

“Setuju aku dengan pendapatmu, Cak. Hanya saja masalahnya kalau diprosentasei masih lebih banyak wartawan yang suka terima amplop dibandingkan wartawan yang konsisten dan jujur,” tiba-tiba saja Cak Muki yang sedari tadi nyiram tanaman bonsainya menimpali diskusi Cak Kus dan Ma’on.

“Tiap bulan setidaknya aku harus menyediakan sejumlah uang untuk sekedar ‘ngasih ongkos bensin” pada wartawan yang jumlahnya puluhan yang kebetulan meliput ke tempat kerjaku. Tragisnya, di kantor tidak disediakan dana taktis untuk itu. Hingga kadang aku merogoh kocekku sendiri untuk itu. aku sendiri ya nggak ngerti mana yang wartawan ‘beneran,’ mana yang sekedar cari amplop. Wong tiap bulan datangnya grudukan (rombongan, red) gitu. Dan semuanya pada nggak menolak diongkosi.

Pernah juga aku ngeluh pada wartawan yang medianya jelas dan aku kenal baik soal ini. Besoknya diturunkan jadi berita. Ealah, bukannya kapok, wartawan yang datang malah tambah banyak. Bahkan pada sekretarisku beberapa wartawan nyeletuk; “Mana itu pejabat yang merogoh koceknya sendiri untuk uang bensin wartawan tiap bulan. Mbok aku dimasukkan daftarnya sehingga kebagian!”

“Ah, berarti kau banyak dosa. Banyak ngemplang uang rakyat yang disalurkan dari proyek-proyek pemerintah. Bukankah ada adagium miring yang cukup terkenal di dunia jurnalistik; dosamu, rejekiku.”

“Bukan itu masalahnya, Cak. Tapi kata stafku, itu sudah jadi kebiasaan dari pejabat yang dulu-dulu. Repetitif. Selalu begitu. Kadang mereka juga datang setiap hari silih berganti, setor muka, sekedar mengucapkan salam selamat pagi atau selamat siang. Dan tuan rumah memang harus paham; UUD (ujung-ujungnya Duit).”

“Yach…repot memang untuk membersihkan kredibilitas wartawan. Mungkin tiap kali membaca berita koran atau siaran televisi kita berdecak kagum pada wartawan karena liputannya. Dilain pihak, kita sering miris dengan aksi wartawan tanpa media yang sekedar cari amplop. Lebih miris lagi kalau ternyata tak sedikit wartawan munafik yang pura-pura suci tapi juga doyan amplop. Wartawan yang beginian ini biasanya liputannya tidak bagus-bagusnya amat. Tulisannya kering. Tidak kreatif. Isinya hanya komentar narasumber saja.

Dilain pihak, toh ada juga pejabat yang suka maksa-maksa wartawan terima amplop hanya agar beritanya dimuat atau fotonya nangkring di koran. Sebab bagi pejabat khan publikasi penting, agar karirnya mulus, dan jabatannya cepat naik. Sebab salah satu tolok ukur agar jadi kesayangan Bupati/Walikota/Gubernur salah satu syarat tidak tertulisnya adalah muncul di media dengan berita bagus. Betul to Ki?” Yang disindir hanya garuk-garuk kepala dan nyengir kuda. Merasa sedang diatas angin Cak Kus kembali nyerocos.

“Disadari atau tidak wartawan memang menjadi sandaran bagi harapan banyak orang. Apalagi di negeri yang carut marut dan timpang seperti ini. Kaum miskin kota tanahnya dirampas secara sepihak, para PKL yang digusur, para buruh yang di-PHK secara sepihak misalnya, menghubungi wartawan agar aksi demonya diliput sampai tuntutan mereka dikabulkan. Masalahnya siapa yang membela jurnalis? Bukankah ia juga karyawan swasta yang terikat managemen struktural ketat perusahaan tempatnya bekerja? Bahkan ditengah kerjanya yang super padat dan kerap menyisihkan kebersamaan anak istri tak sedikit perusahaan media yang menetapkan gaji wartawan sedikit lebih diatas upah minimum daerah/propinsi (UMD/P)? Dus, sementara harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi dan deraan kebutuhan ekonomi semakin tak terbendung, mereka juga ‘diharamkan’ menerima suap, sogokan dan amplop.”

Hening. Baik Ma’on maupun Cak Muki sedang menyimak dengan saksama penjelasan Cak Kus. Merasa tak ada yang mau menanggapi pernyataannya, Cak Kus melanjutkan celotehnya.
“Dalam kondisi semacam itu wajar saja jika banyak wartawan yang saling sikut antar kawan. Baik diinternal perusahaannya maupun di lapangan antara sesame wartawana beda media. Berkompetisi. Mereka memeras otak, berkreasi untuk bertahan secara ekonomi. Ada wartawan yang mengemas semua beritanya menjadi sekedar marketing news. Jadi setiap liputan dan setiap narasumber yang hendak dimuat harus menandatangani kontrak iklan. Ada pula yang awalnya wartawan liputan banting setir jadi makelar iklan.”

“Tunggu….tunggu….” Tiba-tiba Ma’on menyela. “Ngomong-ngomong Cak Kus dulu khan mantan jurnalis. Waktu jadi reporter dulu termasuk wartawan idealis atau wartawan amplop juga sich? Atau pragmatis? Kadang idealis, tapi kalau kepepet boleh juga jadi munafik.”

Kini giliran Cak Kus yang bungkam. Cak Muki hanya senyum-senyum saja. Sementara Ma’on mengetuk-ngetukkan tangannya di meja sebagai tanda sedang menunggu jawaban. Cak Kus tiba-tiba melirik jam tangannya.

“Wah, Jam setengah sepuluh nih. Aku numpang mandi ya?” ujar Cak Kus sambil ngeloyor meninggalkan teras tempat diskusi dan masuk ke dalam rumah. Dalam kamar mandi sayup-sayup terdengar Cak Kus sedang bernyanyi reffing-nya Band “Serius” yang berjudul “Rocker Juga Manusia.” Tapi dipelintir;
Wartawan juga manusia
Punya anak punya istri
Wajar kalau penanya
Tak setajam pisau belati


2 komentar:

  1. Bung,,,, gambar sampingnya bikin gak konsentrasi baca,,, heheheee.......

    BalasHapus
  2. baru buat blog jg bung,,, mohon dikunjungi kalau ada waktu luang....!!!! sangnakhoda.blogspot.com

    BalasHapus